Senin, 07 Februari 2011

Perempuan Hitam

Matahari turun lambat-lambat lambat di ufuk barat, sinarnya kian memudar kemerahan. Cericit kelalawar menyambut hangat kehidupan malam, kehidupan yang hanya dinikmati makhluk-makhluk hitam. Jika ia manusia, maka dengan sengaja atau tidak, namanya akan memanjang sebagai identitas dirinya. Perempuan Malam! Ai, itu nama yang sering disebut-sebut orang.

Dan hari mulai gelap, rembulan menyembul malu-malu menggantikan matahari yang mungkin telah lelah menyinari bumi. Lampu menyala-nyala di seluruh penjuru desa, semua orang dengan sombongnya berlomba-lomba menghidupkannya seterang mungkin. Jaman baru memang telah datang. Dengan karyanya, manusia membuat hidup semakin mudah saja. Barangkali lampu itu dibuat untuk menandingi matahari.

Di antara gemerlap bola ajaib itu, berdiri sebuah rumah yang berbeda pada umumnya, penerangannya sangat buruk. Bangunannya masih cukup baik, hanya saja terkesan tak terawat sama sekali. Rumput-rumput tumbuh subur di depannya, sehingga nampak menyeramkan. Pelepah pisang berayun-ayun dengan lembutnya di sekitar pelataran, dan dedaunan menjuntai-juntai terkena desir angin.

Seorang perempuan muda keluar dari rumah itu. Tubuhnya sintal, mengenakan busana ketat dan agak terbuka. Ia melenggok pelan-pelan ke depan, membuka pintu pagar rumahnya, menebarkan pandang ke segala penjuru. Desa mulai sepi, tak seorang pun yang terlihat, mungkin karena malam sudah sampai pada puncaknya. Angin malam yang kian menderu tak membuatnya kedinginan, ia terus berjalan menjauhi rumahnya sembari matanya tetap awas.

Jalan raya menyambutnya, ia kembali bekerja. Hidup penuh dengan pilihan, pikirnya. Jika ia tidak memilih, berarti ia tak mendapatkan apa-apa. Lalu bagaimana ia akan menghidupi diri dan anaknya yang masih kecil itu, jika ia tidak mendapat apa-apa? Semua harus dimulai dengan keberanian. Ia sudah bosan dengan omong-kosong dunia yang tak memberinya ruang, dunia yang menganggapnya hanya menjadi pelengkap saja.

Ia berdiam di trotoar. Kali ini banyak teman-temanya yang bertebaran di pinggir jalan, busananya sama seperti yang ia kenakan. Ia keluarkan rokok dari saku pinggangnya, menyulut sebatang dengan tenang-tenang. Asap membumbung tinggi ke atas, sejurus kemudian menghilang tanpa menyisakan bekas. Ia menghisap penuh kenikmatan, setumpuk persoalan tak mengikutinya lagi. Sekarang ia sudah menjadi perempuan bebas, bebas dari kekangan orangtua, bebas pula digoda lelaki hidung belang yang siap memangsanya setiap saat.

“Kau baru datang?” Tanya temannya.
“Iya, ada yang harus aku urus di rumah.” Jawabnya agak sedikit gugup.
“Anakmu?”
“Iya.”
“Sudah kau bawa ke dokter?”
“Sudah, kata dokter ia harus dirawat di rumah sakit. Tapi aku rawat di rumah ”
“Kenapa?”
Ia tergeragap dengan pertanyaan temannya. Tubuhnya menggigil sangat kentara, keringatnya bermanik-manik di dahi serta lehernya yang putih-mulus. Ia hisap rokoknya lagi dengan pelan-pelan, lalu menghembuskannya pelan-pelan juga. Akhirnya ia bisa menguasai dirinya kembali.

“Kenapa lagi kalau bukan uang.” Ia menjawab tenang.
“Tapi anakmu harus segera sembuh.” Temannya mendesak.
“Aku sudah berusaha.”

“Sudah hampir satu bulan anakmu terkapar.”
“Aku sudah berusaha menjaganya baik-baik di rumah.”
“Kau harus datang pada orangtuamu.” Kali ini temannya sangat cemas.
“Ah, tidak mungkin!”

Perkataan temannya membuat kenangan buruk terkuak kembali dari pikirannya. Memang ia pernah ceritakan kepada temannya itu perihal masa-lalunya, temannya pulalah yang telah menyeretnya ke dalam dunia malam. Tapi itu jalan yang harus di tempuh, jika ia tidak “melacur” maka ia akan kelaparan. Dan jika ia kelaparan, berarti ia mengajak anaknya pula untuk menderita bersamanya.

Ingatan itu nampak jelas membayang, kini ia bagaikan sebuah film mengerikan yang diputar di sebuah layar lebar. Dan rangkaian peristiwa kelam itu seakan bercerita kembali padanya.

Ia adalah anak perempuan semata wayang dari seorang pemuka agama di desanya. Kedua orangtuanya sangat menyayanginya, mungkin karena ia anak satu-satunya. Semua keinginannya dikabulkan, asalkan tidak melanggar aturan agama. Termasuk tidak boleh dekat-dekat dengan lelaki, apalagi sampai menjalin cinta.

Tapi hal itu dilanggarnya juga, diam-diam ia telah menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Kedua orangtuanya tidak tahu perihal itu, berbulan-bulan ia dapat mengelabuhi orangtuanya. Namun usahanya menemui kebuntuan, orangtuanya akhirnya mengetahui jika anaknya tengah mengandung. Ia di usir ketika perutnya sudah membesar dan tak bisa disembunyikan lagi.

Ayahnya tentu sangat marah, harga dirinya sebagai pemuka agama lebih berarti daripada rasa sayang terhadap anaknya. Ayahnya sudah terlanjur malu, ia harus rela kehilangan anak yang telah mencoreng kehormatan sekaligus melecehkan agamanya. Dan perempuan malang itu harus pergi mengembara dengan bayi di perutnya, bayi yang tak punya bapak, bayi yang tak diakui bapaknya, bayi yang terlahir karena dusta lelaki.

Ia terlempar dalam rimbanya kehidupan. Seorang wanita telah menolongnya dari serangan lelaki-lelaki haus berahi, para lelaki yang tak pernah tahu ibunya sendiri, para lelaki yang tak menghargai perempuan sama sekali. Ia tinggal dan melahirkan anaknya di rumah wanita yang menolongnya itu. Namun ternyata ia menyerah pada kerasnya kehidupan, ia terjun ke dunia malam setelah anak yang dikandungnya itu telah ikut melengkapi dunia.

Sejak ia “melacur”, ia sudah tidak lagi tinggal di rumah temannya itu. Ia tinggal di sebuah rumah sewaan bersama anaknya. Tapi sekarang ia dalam cemas, anaknya sakit dan belum juga sembuh. Mestinya ia harus rawat anaknya di rumah sakit, tapi hidup terlalu sulit untuknya. Ia tahu sakit yang diderita anaknya bukan sakit biasa, ia hanya percaya jika Tuhannya tak pernah ingkar.

“Kau harus temui orang tuamu.” Temannya kembali mengingatkan
“Tidak, ayah pasti akan mengusirku.” Ia menggigit bagian bawah bibirnya.
“Anakmu kau tinggal di rumah sendirian?”
“Tidak, ada Bi Narsih, tetanggaku, yang sudah sebatangkara. Ia sering tidur di rumahku.”

Malam semakin larut saja, tapi belum juga ada lelaki yang datang menghampirinya. Akhirnya ia duduk bersandar di sebuah pohon di pinggiran jalan, sedang temannya masih berdiri menunggu tamunya datang. Malam ini nasib baik ada pada temannya, sebuah mobil perlahan-lahan menghampiri. Seorang lelaki tua keluar, mereka berdua bercakap-cakap. Ia menundukkan kepala, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Wajahnya kini begitu pucat, ia menggigil tak tertahankan. Tubuhnya meringkuk di sela pohon besar itu.

“Nanti aku datang ke rumahmu, akan kubawakan makanan.” Temannya memberi isyarat padanya, masuk ke dalam mobil, dan lenyap dari pemandangan.
Ia tak memperdulikan perkataan temannya, ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Satu jam kemudian ia memutuskan untuk pulang dengan tangan kosong. Ia merasa diri putus asa, langkahnya terseok-seok tanpa tenaga.

“Ya Tuhan, kenapa tak kau sudahi saja hidup hambaMu ini? Kenapa cobaan yang Kau berikan amat berat? Hamba percaya padaMu, hamba percaya Kau sayang pada umatMu.” Ia menjerit dalam hati.

Azhan subuh telah berkumandang, ia telah berada di sisi anaknya. Malam ini ia tak bisa membelikan obat untuk anaknya. Ia sadar, kepala anaknya semakin membesar, anaknya harus segera dioperasi. Tapi uang dari mana? Untuk membelikan obat dan susu saja ia sudah kesusahan. Suara azhan semakin menusuk-nusuk hatinya, ia ingat pada ayahnya. Ia ingat pula pada lelaki tua yang membawa temannya itu. Pikirannya sangat kacau, tak sadar ia telah mengucurkan airmata. Ayahnya yang selama ini ia hormati, ternyata tak berbeda pula dengan lelaki yang setiap malam menjadi ladang kehidupannya.

“Bertahanlah, Nak. Aku ingin mendidikmu menjadi lelaki yang bisa menghargai wanita.” Ia kecup kening anaknya penuh kasih.

Malam berikutnya ia kembali ke jalanan, melupakan segala peristiwa semalam yang menyakitkan. Ia tak lagi percaya pada siapa pun, kepada para lelaki yang yang hanya memandang wanita sebagai boneka mainan. Ia tak percaya pada “kesucian”, hidup ini tidak hitam dan putih. Hanya Tuhan Maha Suci, bisiknya dalam hati. Manusia telah mendustai dirinya sendiri, mereka gunakan agama sebagai topeng belaka. Barangkali ia terlalu sakit melihat ayahnya sendiri, yang dianggap pemuka agama, ternyata “melacur” juga. “Bukankah banyak sekali perempuan direndahkan derajatnya oleh kaum lelaki? Bahkan banyak di antara lelaki itu yang mengaku dari golongan yang “suci”?” Ia kembali bergumam.

“Kenapa kau tak datang?” Tanya perempuan itu pada temannya.
“Maaf, aku sangat lelah. Tapi kau dapat makan?” Jawab temannya.
“Bi Narsih memasak untukku. Siapa lelaki semalam? Langgananmu?
“Iya, dulu. Tapi baru tadi malam datang lagi.”

Mereka kembali terdiam. Bulan mengintip malu-malu dari bilik langit, sesekali membenamkan seluruh tubuhnya, maka langit pun menjadi muram. Malam benar-benar suram, bintang-bintang pun menghilang mengikuti sang bulan, dan jalanan menjadi gelap tanpa penerangan. Dari kejauhan sebuah mobil melaju pelan dengan lampu menyala-nyala, perempuan-perempuan malam itu berlarian
“Lari.” Pekik temannya.

Ia lari terpatah-patah sendiri, temanya menyusup entah kemana. Ia tertangkap oleh petugas, dan diangkut oleh mobil itu bersama perempuan malam lainnya. Mereka di bawa ke sebuah kantor untuk dimintai keterangan. Ia meronta, memohon agar dibebaskan.

“Pak, lepaskan saya. Anak saya sakit.” Tangisnya terbata-bata.
“Kau tinggal di sini beberapa hari.” Jawab tegas petugas.
Azhan subuh terdengar sayup-sayup dari surau sebelah kantor. Ia menangis, ia rasakan kesakitan yang mendera hatinya.

“Semoga kau baik-baik saja, anakku.” Ia kembali mendoa.

Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar