Minggu, 06 Februari 2011

Muak

Pemandangan yang sangsi; pemukiman kumuh. Sepanjang pinggiran jalur kereta Ibu kota, kita bisa melihat tenda berderet-deret. Sampah menumpuk, asap mengepul hebat akibat pembakaran. Adegan datang dari sana. Dari balik jendela kereta yang berhenti sejenak, penumpang menyaksikannya. Seorang wanita paruh baya memasak, seorang lelaki bergumul dengan pulungan, anak kecil bermain air. Meski  sepintas, orang bisa segera menyimpulkan—tidak sehat.

Beberapa saat kemudian kereta melaju. Di samping-menyampingnya terlihat bangunan yang beragam, ada kesenjangan di sana. Gedung-gedung menjulang tinggi, tenda-tenda kumuh tambah “mblangsak”. Saya bukan manusia bijak yang selalu peka terhadap sesama. Saya hanyalah angka nol; berada di balik angka lainnya—saya seperti yang lyan. Sekali lagi, sebagai manusia pada umumnya, hati saya terguncang.

Mungkin itu adegan yang lumrah, sebuah ceritera klise. Kemiskinan bukan sesuatu yang mengejutkan bagi kita, ia nyata dan dekat. Sudah sering kita dengar adanya kesenjangan, pun kita bisa lihat sendiri dengan mata yang masih wajar. Entah mengapa, Ibu kota seolah menjelma sarang bagi pendusta-pendusta, menjadi liang bagi para penggembala kenistaan.

Barangkali memang ia cocok buat mencetak pemberontak-pemberontak ulung, para oposisi yang tidak diakui keberadaannya. Mereka, dengan jalannya sendiri-sendiri mencoba melawan apa yang disebut “penghianatan”. Tapi pun akhirnya mereka harus memilih, dan penghidupan adalah jalan yang membisikkan kengerian. Di antara mereka ada yang berhianat, sisanya adalah pengais keberanian.

Seperti yang saya katakan tadi, Ibu kota bukan keranjang keluhan yang menampung berjuta-juta tangis. Ia juga bukan kotak amal yang senantiasa menunggu derma. Ia hanya ember berisi air, ia bisa tenang dan beriak-riak. Bisa keruh maupun jernih. Tapi ia terus menggoda, menawarkan segala macam kegemasan. Lalu memaksa kita  bercericau, atau bahkan berteriak memaki-makinya bila mau.

Di sana ada banyak para elitis. Di sana juga ada banyak pengemis. Mereka berlomba-lomba tampil di atas panggung. Tapi sang sutradara sangat baik dan bijak, mereka dipersilahkan tampil bersama dalam satu panggung. Yang satu sibuk merapal mantra sampai berbusa-busa, berjanji-janji, berhebat-hebat dengan ilmunya. Yang satu lagi bosan menunggu, mengantuk mendengar celoteh-celoteh yang menyerupai tukang obat. Aih, begitu piciknya sang sutradara.

Mungkin saya akan terlalu lelah menyebutkan berbagai-bagai kebusukan. Dan mari, kita nikmati saja kelucuan itu. Mudah-mudahan ceritera kepahlawanan dari guruku bukan sekadar lelucon, mudah-mudahan pula guruku tidak berbohong jika di bangsa ini pernah lahir orang-orang besar.

0 komentar:

Posting Komentar